Thursday, June 24, 2010

Ilustrasi Figuratif dan Lukisan Konsep Oleh Boris





Kali ini saya mengemukakan karya seni visual ilustrasi figuratif dan ilustrasi konsep yang muncul sebagai karya seni visual untuk hiasan kulit buku, majalah dan ilustrasi untuk watak filem. Perkembangan lukisan ilustrasi telah berkembang sekian lama apabila revolusi perusahaan dieropah memerlukan banyak produk sebagai bahan ilustrasi.

Saya mula mengenali ilustrasi figuratif ini apabila saya mula mengahsilkan komik sekitar tahun 1980-an. Pada ketika itu komik-komik Conan, Vimpire dan beberapa komik lain yang muncul dengan reka bentuk ilustrasi ‘cover’ yang sungguh hebat gaya pelukisan. Antara pelukis yang saya sungguh minati ialah Boris Vallejo.

Boris mula melukis pada usia tiga belas tahun dan menjadi pelukis ilustrasi sepenuh masa ketika berumur enam belas tahun. Beliau lahir di Peru dan berhijrah ke Amerika Syarikat sekitar tahun 1964.

Dilihat pada karya-karya ilustrasinya beliau amat gemar melukis suasana alam fantasi dan lukiusan erotik. Gaya lukisannya lebih kepada hiper realis. Beliau melukis menggunakan model kemudian diubah dalam suasana yang lebih dramatik dan diadun dengan perwarnaannya yang tersendiri. Kini beliau banyak menggunakan media digital sebagai gabungan dalam penghasilan karyanya.

Antara ciptaan ilustrasi nya yang terkenal ialah Tarzan , Conan The Barbar , Doc Savage dan fantasi pelbagai watak lain (sering dilakukan untuk karya novel fiksyen yang memaparkan watak). Karya beliau juga dijadikan kalendar tahunan dan ilustrasi buku.

Antara ciptaan poster poster wayang untuk fantasi dan pengeluaran tindakan, termasuk Barbarella (1968), Knightriders (1981), Q (1982), dan Ratu Barbar (1985) dan banyak lagi.

Wednesday, June 23, 2010

Persoalan Global Art

Saya tertarik membaca artikal ini yang dihasilkan oleh Jim Supangkat melalui Art News Indonesia. Persoalan kini yang dibincang hangat mengenai Global Art yang dikaitkan dengan Seni Kontenprori. Penulisan ini saya terus petik tanpa pindaan untuk bacaan kita.


Discoursing Contemporaneity
oleh Jim Supangkat
Lukisan Awi Ibanesta, seniman otodidak asal Wonosobo, Jawa Tengah. Karya ini sekadar dipajang sebagai "foto", bukan untuk menjelaskan atau menderivasikan gagasan dalam artikel di bawah ini. (foto: kuss indarto)
SEJARAWAN seni rupa terkemuka Hans Belting melihat global contemporary art sebagai “global art” yang harus dibedakan dari “world art”. Bagi Hans Belting pengertian world art mencerminkan pemahaman modernisme yang hegemonik. (1)

Dalam pembacaan saya pengertian world art berpangkal pada pemikiran modern tentang realitas dalam lingkup universal. World art adalah Western art yang di-claim berlaku di seluruh dunia setelah dikukuhkan sebagai modern art. Asumsi ini berhenti pada claim karena tidak menjadi universal reality. Tidak pernah dikaji bagaimana modernisme mengalami translasi dan transformasi di luar Eropa dan Amerika Serikat dan menjadi modernisme yang berbeda. Kendati modern art yang bertumpu pada modernisme dikenal juga di seluruh dunia tidak bisa dipastikan apakah modernisme—a complicated discourse—sesungguhnya dipahami dan kemudian dianut di luar Eropa, Amerika.

Global art, menurut Hans Belting sama sekali bukan tanda-tanda munculnya kenyataan yang diprediksi unversalisme. Global art muncul karena sebab-sebab ekonomi. Perkembangannya di art market tidak peduli pada keseragaman yang diyakini universalisme. Bisnis membuatglobal contemporary art mempedulikan kekuatan lokal demi bisnis (memperhitungkan persepsi publik, persepsi kolektor dan seniman) dan kemudian merayakan perbedaan. Karena itu globalisme, kata Hans Belting, adalah anti-thesis universalisme. (2)

Dalam pembacaan saya gagasan Hans Belting membedakan “world art” dan “global art” bukan hanya membedakan modern art dan contemporary art. Pembedaan ini meliputi pula pembedaan “contemporary art“ dengan “global contemporary art”. Bila dibaca lengkap “contemporary art” tidak lain adalah “world contemporary art”. Dalam sudut pandang ini “world contemporary art” adalah kelanjutan “world modern art” sekalipun dalam banyak pandangan hubungan ini disangkal karena contemporary art disebut-sebut berada padaplatform baru yang sama sekali lain.

Maka “world contemporary art” mengandung pengertian hegemonik juga. Tandanya yang sampai sekarang diyakini adalah perubahan besar dari seni rupa modernis ke seni rupa post-modernis. Seperti modernisme tanda ini (perubahan dari seni rupa modernis ke seni rupa post modernis) tidak bisa dipastikan apakah dipahami sepenuhnya di luar Eropa dan Amerika Serikat.

Melihat world contemporary art sebagai kontinuitas world modern art membangkitkan kesadaran bahwa world contemporary art kembali berhenti pada claim dan tidak menjadi kenyataan. Model contemporary art yang berkembang di Eropa, Amerika Serikat tidak bisa ditemukan di luar Eropa, Amerika Serikat. Kemungkinannya, contemporary art di luar Eropa, Amerika Serikat, ada tapi tidak sepenuhnya dipahami, atau ada sebagai copy yang tidak bermakna. Di sini, pengertian global contemporary art menjadi berarti. Pertanyaan “what is contemporary art ” harus diubah menjadi “what is global contemporary art ” Hans Belting mengemukakan pertanyaan ini akan menyuruk ke pertanyaan mendasar dan terbuka untuk berbagai kemungkinan yaitu “what is art in global sense.” (3)

Buku Terry Smith, What is Contemporary Art? Mungkin buku paling komprehensif dalam menguraikan tanda-tanda perkembangan seni rupa kontemporer pada dekade 1990 dan dekade awal 2000. Buku ini memasukkan kajian art market dalam tegangan global-local,membahas sejarah seni rupa dan perkembangan museum dalam pertentangan modern-contemporary, dan, benturan arus perkembangan Utara-Selatan dalam kajian post-colonial.Dalam pengamatan saya contemporary art dalam buku ini dibahas baik sebagai world contemporary art maupun sebagai global contemporary art.

Saya melihat ruang antara (space in between) yang terletak di antara world contemporary artdan global contemporary art pada kajian Terry Smith. Ruang antara ini tercermin pada pembahasan contemporaneity yang disebut, “[...] the most evident attribute of the current world picture [...]”. Terry Smith menulis,

Within contemporaneity, it seem to me, at least three sets of forces contend, turning each other incessantly. The first is globalization itself, above all, its thrists for hegemony in the face of increasing cultural differentiation (the multeity that was realesed by decolonization), for control of time in the face of the proliferation of asynchronous temporalities, and for continuing exploitation of natural and (to a degree not yet seen) visual resources against the increasing evidence of the inability of those resources to sustain this exploitation. Secondly, the inequity among peoples, classes, and individuals is now so accelerated that it threatens both the desires for dominations entertained by states, ideologies, and religious and the persistent dreams of liberation that continue to inspire individuals and peoples. Thirdly, we are all williynilly immersed in a infoscope—or better, a spectacle, an image economy or a regime of representations—capable of the instant and thoroughly mediated communication of all information and any image anywhere. (4)

Dari pandangan itu saya tertarik khususnya pada penghubungan contemporaneity dengan tegangan (tensions) di antara globalization yang membawa tanda-tanda hegemony denganmulteity that was realesed by decolonization. Tegangan ini menunjukkan pertarungan image global contemporary art yang sekarang ini terjadi. Pertarungan image ini berpangkal pada pertanyaan: apakah global contemporary art memunculkan keseragaman atau justru keragaman.

Keyakinan yang melihat global contemporary art memunculkan keseragaman melihat global contemporary art berdasarkan faktor spatial dengan menekankan the present. Di sini global contemporary art mempunyai makna yang tetap dan pasti karena tidak dipengaruhi faktor temporal yang membuat makna menjadi tidak tetap dan cenderung terus berubah. Keyakinan ini bahkan cenderung memutuskan the present dari sejarah (selain dipengaruhi faktor spatial dan temporal, sesuatu makna selalu dipengaruhi sejarah pengertiannya). Ini tercemin pada upaya meninggalkan predikat “contemporary” dan menggantinya dengan predikat “now” yang mencerminkan penekanan the present. Maka muncul kemudian istilah-ilstiah global art nowdan art now yang sekarang semakin banyak digunakan. Saya rasa gejala ini ada hubungannya juga dengan kecederungan art market—yang dominan pada dekade awal 2000—untuk meminggirkan contemporary art discourses.

Pada arus baru yang percaya pada keseragaman itu tidak ada masalah dengan pengertiancontemporaneity yaitu the quality of belonging the same period of time,” dan “the quality of being current or of the present.” (5)

Bagi saya, pengertian contemporaneity di sebaliknya mengandung masalah karena saya percaya bahwa gobal contemporary art justru memunculkan keragaman dan keragaman inilah yang membedakannya dari world contemporary art. Karena itu saya cenderung “membuka” pembahasan contemporaneity dan menempatkannya pada tingkat mediasi—discoursing contemporaneity—untuk menjelajahi persoalan multeity.

Pada perkembangan seni rupa kontemporer upaya menampilkan multeity itu dilakukan Jean-Hubert Martin melalui pameran menghebohkan, Les Magiciens de la Terre di Pusat Kebudayaan Pompidou, Paris pada tahun 1989. Pada pameran ini Jean-Hubert Martin mendampingkan karya-karya seni rupa kontemporer dengan karya-karya seni rupa tradisional antara lain instalasi tanah pendeta-pendeta Tibet, dan, lukisan perempuan-perempuan Uttar Pradesh, India yang menggunakan bidang lukisan menyerupai kanvas.

Pameran itu memunculkan kontroversi panjang dan dibahas selama bertahun-tahun di foracontemporary art. Pada kontroversi ini Jean-Hubert Martin diserang dunia seni rupa di Prancis dan di dunia. Sesudah itu percobaan Jean-Hubert Martin tidak berlanjut pada perkembangan seni rupa kontermporer.

Gejala itu menunjukkan cara paling umum memahami multeity dan membuatcontemporaneity yang terpusat pada pertanyaan sama-tidaknya seni rupa kontemporer dengan “seni rupa kontemporer” etnik menjadi tidak bisa dibahas. Masalahnya terletak pada pada kata “quality” pada pengertian umum contemporaneity, “Dalam contemporary art discourses “quality” ini bertumpu pada art in Western sense yang tentunya tidak bisa disamakan dengan ”quality” yang bertumpu pada ethnic art sensibilities. Di sini pembahasan contemporaneity menghadapi kebuntuan karena tidak ada platform untuk membahas secara simultan art in Western sense dan art in ethnic sensibilities yang kajiannya terkurung dalam lingkup etnologi dan antropologi dari zaman kolonial sampai sekarang. (6) Dilema ini tidak bisa dilepaskan dari modern thinking sensibilities di mana commensurability yang mendasari semua pemikiran modern mengalami benturan dengan incommensurability thesis yang dipegang para etnolog dan antropolog.

Pada perkembangan seni rupa modern pertanyaan, “apakah art in ethnic sensibilities bisa disamakan dengan art in Western sense” bisa dengan tegas dijawab, “tidak” karena dalam modernisme modernitas diyakini adalah kontradiksi tradisionalitas. Pada perkembangan seni rupa kontemporer yang menentang modernisme, pertanyaan ini seharusnya mencari jawaban yang berbeda. Namun pada kenyataannya, pertanyaan ini tidak bisa dijawab.

Gejala ini menunjukkan masih berpengaruhnya visi modern bahkan visi kolonial dalam perkembangan seni rupa kontemporer. Karena itu saya cenderung tidak mencoba menjawab pertanyaan “apakah art in ethnical sensibilities bisa disamakan dengan art in Western sense”.Saya justru mempertanyakan mengapa pembahasan contemporaneity pada global contemporary art harus kembali ke pertanyaan ini?

Kendati saya tidak meninggalkan persoalan art in ethnic sensibilities saya meninggalkan upaya membanding-bandingkannya dengan art in Western sense. Saya cenderung mencari jalan memutar dengan membandingkan perkembangan contemporary art, inside dan outside Eropa dan Amerika Serikat. Contemporary art adalah wilayah di mana perbandingan ini bisa dilakukan untuk menemukan baik kebedaan mau pun kesamaan. Di wilayah seni rupa modern tidak ada ruang untuk perbandingan ini.

Perbandingan itu tidak berhenti pada the present. Perbandingan ini melibatkan pengkajian sejarah bagaimana contemporary art muncul, inside dan outside Eropa, Amerika Serikat. Kemudian lebih jauh melihat kembali perkembangan seni rupa sebelum kemunculan seni rupa kontemporer. Di sini mundur lebih ke belakang lagi ke pencarian tanda-tanda pada Abad ke 19 di mana modern thinking sensibilties dan visi kolonial berpangkal. Pada Abad ke 19 bisa ditemukan pula, pangkal adaptasi pemikiran modern di luar Eropa, Amerika Serikat, dan bagaimana pemikiran ini diterjemahkan dan mengalami transformasi. Termasuk di sini adaptasi dan penerjemahan art in Western sense.

Dari perbandingan itu bisa ditemukan kebedaan maupun kesamaan perkembangan seni rupa sejak Abad ke 19. Dari perbandingan ini akan terlihat bahwa di luar Eropa dan Amerika Serikat berkembang seni rupa modern yang lain di mana tidak ada kesadaran memisahkan modern art sensibilities dengan ethnic art sensibilities yang menandakan penolakan kontradikisi modernitas dan tradisionalitas. Karena itu pengaruh ethnic art sensibilities bisa ditemukan. Akan terlihat pula bahwa perbedaan modern art dan contemporary art ternyata tidak tajam. Kehadiran ethnic art sensibilities pada seni rupa kontemporer merupakan kelanjutan perkembangan sebelumnya dan bukan karena “reaksi” pada pertentangan modernisme dan pemikiran-pemikiran postmodern.

Tanda-tanda itu menunjukkan pada perkembangan seni rupa kontemporer di luar Eropa, Amerika Serikat pertanyaan, sama-tidaknya seni rupa kontemporer dengan “seni rupa kontemporer” etnik bukan pertanyaan yang dilematis dan bisa menghasilkan jawaban yang masuk akal. Uraian pada jawaban ini akan menunjukkan kedudukan ethnic art sensibilitiespada seni rupa kontemporer yang lepas dari modernisme dan visi kolonial. Uraian ini bisa digunakan juga untuk mengkaji keragaman pada seni rupa kontemporer dan mempersoalkanmulteity pada global contemporary art.

Catatan kaki:

(1)
“Contemporary Art as Global Art, A Critical Estimate,” Hans Belting. Dalam The Global Art World. Audiences, Markets and Museums. Hans Belting, Andrea Buddensieg (ed.). Hatje Cantz. Ostfinden. 2009. pp. 38-73.
(2) Ibid.
(3) Keynote speech seminar, “A New Geography of Art in the Making” yang diselenggarakan Center for Art and Media, Karlsruhe bersama Göethe Institute di Hongkong 21- 22 Mei, 2009.
(4) What is Contemporary Art? Terry Smith. University of Chicago. Chicago-London.2009. pp. 5-6
(5) Wikipedia.
(6) Gejala ini bisa dilihat pada tulisan Denis Dutton, “But They Don’t Have Our Concept of Art”. Dalam Theoreis of Art Today. Noël Caroll. (ed). The University of Wisconsin Press. London. 2000. pp.217-238
*) Ketua Tim Juri Indonesia Art Award (IAA) 2010

Tuesday, June 22, 2010

Perisian terbaru untuk pereka industri dan grafik

Kini pereka dapat menikmati perisian terbaru untuk menghasilkan rekaa bentuk industri dan grafik. Autodesk telah menerbitkan Alias Sketch 2011, paint hibrida dan perisian ilustrasi vektor yang disasarkan kepada pereka industri dan sedia untuk PC dan Mac. Di antara ciri-ciri adalah plug-in untuk integrasi dengan AutoCAD. Autodesk Alias Sketsa 2011 adalah sebuah perisian ilustrasi yang menggabungkan format raster dan vektor. Hal ini bertujuan untuk menawarkan desainer grafik dan industri cara yang efektif untuk menyajikan dan mengkomunikasikan produk dan konsep grafik. Alias Sketch 2011 bukan sahaja mudah diaplikasikan malah kerja-kerja awal bermula dari lakaran hingga peringkat mewarna dan lepaan juga boleh dihasilkan. Lihat video demontrasi dibawah:


Sunday, June 20, 2010

melahirkan murid invotif asas jadi generasi holistik

Matlamat pembelajaran bukan lulus cemerlang
Berita Harian 2010/06/21



ISU mengenai kedudukan Ujian Pencapaian Sekolah Rendah (UPSR) dan Penilaian Menengah Rendah (PMR) timbul semula apabila Timbalan Perdana Menteri merangkap Menteri Pelajaran, Tan Sri Muhyiddin Yassin semalam membayangkan kemungkinan dua peperiksaan itu dimansuhkan. Beliau melihat ada kewajaran pemansuhan itu kerana aspek pembelajaran ketika ini lebih berorientasikan kepada peperiksaan sehingga tujuan utama untuk memberikan pendidikan holistik tidak dapat dilakukan sepenuhnya.

“Kami sedang fikirkan sama ada akan kekalkan atau perlu hanya satu peperiksaan awam, seperti di peringkat SPM saja,” katanya ketika ditemui pemberita selepas merasmikan Mesyuarat Perwakilan Umno Bahagian Pagoh, semalam. Cadangan terhadap pemansuhan UPSR dan PMR ini bukan perkara baru, sebaliknya sentiasa timbul apabila ada perbincangan mengenai keberkesanan sistem pendidikan kebangsaan dalam melahirkan generasi cemerlang. Satu daripada cadangan ialah menggantikan UPSR dan PMR dengan Sistem Penilaian Pendidikan Kebangsaan (NEAS).

Pada Mei 2007, Menteri Pelajaran ketika itu, Datuk Seri Hishammuddin Hussein bagaimanapun dilaporkan berkata, masih terlalu awal untuk membuat ketetapan terhadap cadangan memansuhkan dua peperiksaan itu. Kementerian Pelajaran, katanya, masih lagi dalam proses menilai pilihan terbaik jika mahu berbuat demikian.

“Salah satu cara ialah membandingkan sistem pendidikan kita dengan negara jiran sebelum memansuhkan peperiksaan ini,” katanya sambil menambah, perbincangan peringkat demi peringkat dilakukan sebelum kerajaan memutuskan untuk memansuhkan peperiksaan berkenaan.

Pada Julai tahun lalu, Naib Ketua Pemuda Umno, Datuk Razali Ibrahim menyarankan UPSR dimansuhkan kerana ia hanya menjurus kepada konsep pencapaian pendidikan menerusi peperiksaan yang memerlukan pelajar lulus subjek tertentu untuk layak ke sekolah berasrama penuh.

Cadangannya itu turut mendapat sokongan Pro Canselor Universiti Pendidikan Sultan Idris, Tan Sri Dr Abdul Rahman Arshad, yang percaya langkah itu dapat mengelak murid kurang kebolehan terus tertinggal jika peperiksaan setara pada peringkat pusat diteruskan.
Muhyiddin semalam pula berkata, jika peperiksaan UPSR dan PMR diteruskan, ia hanya sebagai penilaian pencapaian pelajar pada peringkat sekolah, bukannya sebagai peperiksaan awam. Secara peribadi beliau berpendapat perlu ada satu peperiksaan awam saja bagi menilai pencapaian pelajar, iaitu pada peringkat akhir persekolahan atau sebelum memasuki institusi pengajian tinggi.

Muhyiddin memberi jaminan Kementerian Pelajaran tidak akan gopoh dalam membuat keputusan dan sentiasa mengalu-alukan pandangan semua pihak mengenai perkara itu.

Isu mengenai pendidikan sentiasa dekat di hati rakyat bukan semata-mata ia secara langsung membabitkan mereka, tetapi kerana sistem pendidikan yang bakal menentukan masa depan negara. Sama ada bersetuju atau tidak UPSR dan PMR dimansuhkan, perkara yang kita harus akui masyarakat hari ini berusaha sedaya upaya untuk memastikan anak lulus cemerlang dalam kedua-dua peperiksaan itu.

Jika dulu calon peperiksaan hanya menghadiri kelas tambahan yang disediakan sekolah beberapa minggu menjelang peperiksaan, kini sudah menjadi kemestian anak dihantar ke pusat tuisyen sejak Tahun Satu lagi bagi memastikan mereka mendapat semua A dalam UPSR dan kemudian PMR. Malah, ada sekolah dan negeri tertentu menumpukan perhatian khusus bagi mengekalkan rekod kecemerlangan dari segi pencapaian akademik murid sehingga mengabaikan aspek sosial dan kesukanan.

Kita tidak tahu sama ada ribuan murid yang lulus cemerlang dalam kedua-dua peperiksaan itu terus cemerlang dalam kerjaya mereka atau sebaliknya. Apa yang kita pasti, sejak beberapa tahun lalu, amat sukar bagi industri tertentu mendapatkan pekerja baru, walaupun lulus cemerlang sukar memiliki kelayakan sesuai.

Industri media dan komunikasi misalnya, bukan saja menghadapi masalah dalam mendapatkan graduan Melayu fasih berbahasa Inggeris, malah berkomunikasi dengan baik. Anehnya, kebanyakan mereka dipanggil untuk ditemuduga berdasarkan kelulusan cemerlang atau melebihi paras biasa pada diploma atau ijazah masing-masing. Bagi menghadapi fenomena ini, industri terpaksa memperkenalkan kursus khas bagi melengkapkan graduan ini dengan aspek keyakinan diri, komunikasi dan kemahiran berbahasa.

Bagaimanapun, ia bukan bermakna ujian tidak diperlukan lagi. Peperiksaan perlu untuk menilai pencapaian seseorang pelajar, tetapi matlamat pembelajaran tidak seharusnya bertumpu kepada lulus cemerlang semata-mata.

Yang lebih penting ialah bagaimana mahu melahirkan murid yang lebih kreatif dan inovatif, sebagai asas mewujudkan generasi bersifat holistik. Kita bukan saja mahu generasi cemerlang dalam akademik, tetapi juga yang mempunyai jati diri, sahsiah dan akhlak mulia sekali gus mampu menghadapi pelbagai cabaran masa depan.

Justeru, yang perlu dipersoalkan bukannya UPSR dan PMR dimansuh atau tidak, tetapi sama ada dasar dan strategi pendidikan kebangsaan sekarang benar-benar boleh melahirkan satu bangsa Malaysia seperti diimpikan menerusi Wawasan 2020. Tidak kurang pentingnya ialah sistem pendidikan kita tidak harus menjadi modal politik kelompok dan golongan tertentu.

Tuesday, June 15, 2010

Kurikulum Baru Pendidikan Seni Visual....



Semenjak pengumuman Menteri Pelajaran Malaysia mengenai Kurikulum Baru yang akan dilaksanakan pada tahun hadapan menggantikan kurikulum KBSM yang ada sekarang, ramai guru-guru ternanti-nanti apakah perubahan ini melibatkan banyak pertukaran, terutama dari segi kandungan.

Pembentangan RMK-10 baru-baru ini melibatkan penstrukturan dalam Kemeterian Pelajaran yang memerlukan suatu perubahan ke arah menjana keperluan kreatif dan inovatif, maka Datuk Seri Mahyuddin Yassin telah mengumumkan bahawa kurikulum baru untuk sekolah rendah dan menengah dalam bentuk modular yang mementingkan pencapaian kreatif , ivoatif dan keusahawanan akan diperkenalkan.

Terfikir saya tentang kurikulum Pendidikan Seni Visual KBSR dan KBSM yang sekarang digunapakai disekolah akan dirombak dan disesuaikan dalam bentuk modular. Sebenarnya semasa saya terlibat dalam pembinaan kurikulum itu sejak tahun 1997 hingga tahun 1999 kemudiannya terlibat dalam panel membuat Huraian Sukatan PSV dan Buku Sumber PSV banyak perkara-perkara penting perlu difikirkan sebagai pelaksana dan tanggungjawab untuk mempertingkatkan mutu kurikulum PSV. Pada masa itu saya masih mentah dan tidak banyak buku-buku pemikiran pendidikan seni yang saya baca, hanya buku-buku teknik dan cara menghasilkan karya sahaja yang di baca. Itu pun beberapa perkara yang saya ketengahkan telah diterima dan dipakai dalam kurikulum PSV yang ada sekarang. Antaranya: Bidang Komunikasi Visual sebelum disebut sebagai Grafik... Komunikasi Visual melibatkan bidang Grafik, Multimedia dan Animasi... saya masih ingat terdapat beberapa panel yang menentang akhirnya mereka akur setelah Prof. Dr. Shukur menyokong saya.

Juga saya masih ingat ada panel yang mahu 'membuang' bidang-bidang yang dianggap tradisional seperti Kaligrafi dan Kraf kononnya hendak digantikan dengan tajuk lain yang lebih terkini.. masa itu saya membantah, akhirnya disokong oleh beberapa guru, bantahan saya diterima. Akhir sekali ialah cadangan saya untuk memasukkan bidang komputer grafik - multimedia dalam komponen Komunikasi Visual... terdapat panel yang menolak atas alasan tidak sesuai dalam PSV. Semasa saya tidak dapat hadir dalam satu mesyuarat panel di Ipoh, keputusan menolak bidang multimedia dalam komponen PSV. Namun, saya terus berjumpa Ketua bidang Pn. Syarifah (pada masa itu) dan En. Mat Desa (penggerak kurikulum PSV KBSM) agar semasa mesyuarat pemurnian saya ingin membentangkan kepentingan bidang ini dalam PSV... Alhamdulillah, cadangan saya diterima pada mesyuarat pemurnian di Perlis. Hingga cadangan itu mendapatkan 2 buah komputer dan printer untuk bilik seni di sekolah-sekolah kini.

Apa yang saya katakan di atas itu ialah, Bahagian Kurikulum perlu memikirkan perlantikan panel penggubal perlu dipilih dikalangan orang yang benar-benar berilmu dalam Seni Visual, kerana keputusannya nanti akan melibatkan bidang ini sebagai bidang yang boleh diterima dan dapat memenuhi inspirasi keperluan semasa.

Sebenarnya banyak perkara perlu dikaji semula dalam kurikulum PSV yang ada sekarang, terutamanya dari segi pelaksanaan. beberapa aspek yang perlu difikirkan antaranya:

1. Kandungan Asas Seni Reka - perlu dirombak berdasarkan beberapa buku ilmiah terkini.
2. Pembahagian bidang-bidang untuk setiap tingkatan
3. Penilaian dan pentaksiran berasaskan sekolah perlu difikirkan menggunakan kaedah rubrik dengan menekankan pentaksiran autentik.
4. Mengadakan buku teks yang berpaksikan kepada kesahihan maklumat dalam PSV
5. Model DBAE sebaiknya digunakan sebagai asas perancangan pembinaan kurikulum.
6. Bidang kritikan seni sebaiknya digunakan dalam apresiasi dan penilaian seni visual.
7. Setarakan keperluan reka bentuk yang dimulai diajar pada tingkatan 1 lagi.
8. Penilaian formatif dan sumatif dalam PSV harus setara dengan bidang-bidang lain.

Banyak lagi yang saya fikirkan untuk membentuk kurikulum baru PSV. Suatu yang penting ialah OBL yang hendak dicapai dalam pembelajaran PSV perlulah bermatlamatkan pelajar dilahirkan sebagai insan yang boleh berkreatif, inovatif melalui eksporasi dan eksperimen terhadap sesuatu aktiviti seni visual.

Sebenarnya panel Kurikulum Seni Visual STPM baru saja menyiapkan kurikulum berasaskan modular yang akan dilaksanakan pada tahun 2011 nanti. Baru-baru ini Prof. Dr. Mustafa, Dr. Abu Talib dan saya telah meneliti dan sedikit membuat pemurnian kurikulum itu. Penelitian dan berbincangan hingga kelarut malam untuk memastikan kurikulum ini dapat membentuk pelajar STPM yang mempunyai kekuatan dari aspek keterampilan melukis, berkarya, berkreatif dan inovatif melalui kaedah penyelidikan.

Harapan, agar kurikulum PSV akan dibina dan dapat menyegarkan PSV sebagai matapelajaran yang setara dengan matapelajaran penting yang lain.

Monday, June 14, 2010

Kurikulum baharu tahun depan




Utusan Malaysia 11 Jun 2010

DALAM tempoh Rancangan Malaysia Kesepuluh, (RMK-10) kurikulum baharu untuk sekolah rendah dan menengah akan diperkenalkan.

Kurikulum Bersepadu Sekolah Rendah akan diganti dengan Kurikulum Standard Sekolah Rendah tahun depan diikuti dengan kurikulum baharu untuk sekolah menengah.

Kurikulum berbentuk modular itu akan memberi peluang kepada semua pelajar melalui proses pembelajaran mengikut kemampuan sendiri. Ia juga memupuk sikap bertanggungjawab terhadap pembelajaran sendiri menerusi aktiviti eksplorasi yang boleh menyerlahkan potensi mereka.

Kurikulum itu akan menekankan kreativiti, inovasi dan keusahawanan merentasi semua mata pelajaran.

Sebagai usaha membentuk pelajar seimbang dari segi akademik dan kesukanan, kurikulum baharu akan menjadikan Sukan sebagai subjek mata pelajaran mulai tahun depan.

Sehubungan, peruntukan untuk geran sukan bagi setiap pelajar akan dinaikkan dari RM2.40 kepada RM4 bagi sekolah rendah dan RM4 kepada RM6 untuk sekolah menengah.

Di bawah RMK-10, kerajaan akan melaksana pelbagai kaedah perkongsian awam-swasta seperti dalam pengurusan sekolah dan pembiayaan yuran sekolah.

Kerajaan juga akan menyediakan insentif kepada pengusaha swasta bagi mempercepatkan penyediaan prasekolah dan membolehkan mereka mendapat geran pembinaan di kawasan kurang membangun di luar bandar.

Sektor swasta dijangka membina 488 prasekolah tahun ini, 1,000 tahun depan dan 1,145 tahun 2012.

Skim pembiayaan bersama bagi meningkatkan permintaan terhadap pendidikan prasekolah juga akan dilaksana bagi membantu golongan berpendapatan rendah.

Bantuan sehingga RM150 sebulan diberikan kepada mereka untuk pendidikan kanak-kanak berumur 4+ dan 5+ tahun di prasekolah swasta.

Dalam tempoh rancangan, umur bagi memulakan persekolahan akan dikurangkan daripada 6+ kepada 5+. Langkah ini selaras dengan amalan negara maju.

Sementara itu perkongsian awam-swasta dalam pendidikan asas memberi autonomi kepada pengendali sekolah sebagai tukaran kepada penambahbaikan yang spesifik dalam prestasi pelajar seperti yang dipersetujui dalam kontrak rasmi.

Model serupa telah diguna pakai di sekolah persendirian Cina di Malaysia seperti yang diguna pakai oleh Charter School di Amerika Syarikat, Independent School di Sweden serta specialist school dan academy school di United Kingdom.

Tuesday, June 8, 2010

Reka bentuk Automobil TEKSI masa depan






Pelbagai reka bentuk dihasilkan oleh pereka untuk memenuhi keperluan pelanggan. Di New York sebuah syarikat UniCab telah membentangkan proposal reka bentuk untuk sebuah teksi yang ‘eco-friendly direka untuk bandar New York. Reka bentuk ini adalah memenuhi keperluan sebuah kereta penumpang masa depan dengan memenuhi keperluan semasa. Ciri-ciri reka bentuk seperti sebuah powertrain elektrik, kabin yang luas dengan kapasiti tempat duduk untuk empat orang dan sistem 'infotainment' yang menampilkan maklumat perjalanan dan pelancongan. Memenuhi keperluan digital dan ICT.

Reka bentukl ini disokong oleh sebuah sistem penggerak sepenuhnya dengan empat motor elektrik di roda, yang membolehkan penggunaan secara elektronik. Hal ini disokong oleh sebuah sistem penggerak penuh dengan empat motor elektrik di roda.

Bateri boleh dicas semula dengan mudah melalui infrastruktur yang disebuat sebagai "Boomerang Hub Recharging Stations", (Tempat cas bateri) terletak di kedudukan strategik di seluruh Bandar New York. Taksi itu boleh mengangkut empat penumpang dan pintu geser lebar serta jalan automatik untuk 'wheel-chairs' (Pelanggan OKU). Disamping itu ciri-ciri dalaman yang boleh berfugsi sebagai hiburan melalui 'onboard' yang memaparkan perjalanan sistem maklumat serta maklumat pelancongan.

Di antara ciri-ciri tehnikal adalah sistem penghawa disesuaikan & suspensi hidrolik, yang ditujukan untuk pengurangan bahagian yang bergerak untuk meningkatkan kehandalan dan mengurangkan penyelenggaraan.

Friday, June 4, 2010

Industri Kreatif, apa sebenarnya?


Pada 4 Jun 2010 saya hadir dalam suatu perjumpaan pertama kali dalam fakulti baru yang dinamakan FAKULTI SENI, PERKOMPUTERAN DAN INDUSTRI KREATIF. sebenarnya fakulti ini ditubuhkan pada 1 Jun 2010 setelah penstrukturan semula Universiti Pendidikan Sultan Idris, Tg. Malim. Perak.

Dalam perjumpaan tersebut Dato Prof Ahmad Haji Zainuddin selaku dekan pertama fakulti memberi taklimat dan hala tuju fakulti. Banyak perkara-perkara baru disentuh dan banyak maklumat terkini yang diberi imput. Rata-rata pensyarah mendengar dengan teliti dan menyambut baik beberapa harapan yang dilemparkan. Pada saya inilah sebenarnya Dekan Fakulti. Beliau mempunyai pengetahuan yang luas terhadap Fakulti yang 'dijaga' dan seorang yang banyak terlibat dalam industri kreatif. Beberapa perkara yang sangat menarik diperkatakan ialah ' Centres of Excellance', 'Committe on future knowledge', 'Indigenous knowledge', ' Faculty and the Community', 'networking', 'global networking',' collaborating'. Paling penting dalam ucapannya ialah beliau mahukan fakulti sukses dengan nilai-nilai global dan mempunyai daya saing seperti dalam teksnya berbunyi..."To sustain faculty's excellence and to show evidence of success, we need to win awards and other form of recognition."

Dalam banyak hal tentang fakulti ini saya tertarik dengan nama 'Industri Kreatif'. Kalau ditinjau dalam isu semasa dinegara ini, timbulnya Industri kreatif adalah berasakan betapa pentingnya dunia kreatif dalam penguasan dunia perniagaan kini. Hinggakan Kerajaan Malaysia telah mengumumkan bermula tahun 2009 adalah tahun Kreatif dan Inovatif. Serentak dengan itu pada 23 Okt 2009 Perdana Menteri Malaysia telah membentangkan Bajet negara dengan memperuntukkan RM 200 juta bagi menjana Industri Kreatif. Bertolak dari situ beberapa Universiti dan Kolej tempatan tiba-tiba saja telah menubuhkan Fakulti dan Jabatan Industri Kreatif.

Satu persoalan... Apa yang nak diajar dalam jabatan atau fakulti Industri kreatif ini?. Animasi?, Filem?, Multimedia?, Reka bentuk Grafik?........ sebenarnya semuanya telahpun sedia ada dalam program selama ini. Namun demikian, kebanyakannya ramai yang beraggapan itulah Industri Kreatif... teknologi digital, animasi, perfileman, multimedia dan new media. Pandangan ini suatu tangkapan yang silap!.

Sebenarnya dari segi sejarah Industri Kreatif telah mula diperkatkan sejak tahun 1997 oleh Parti Buruh British di England. Istilah ini pertama kali digunakan dalam analisis yang ditimbulkan oleh Jabatan Kebudayaan, Media dan Olahraga parti itui dalam membentangkan impak ekonomi British yang berjaya melalui Industri ini. Kejayaan industri ini menampakkan suatu perubahan dalam ekonomi dunia kini, justru Industri ini akan memberi kesan ekonomi terhadap sesebuah negara. Kesan ini telah dilihat oleh dunia bahawa zaman masa kini adalah zaman kreatif dan inovatif telah bermula.

Mengikut UK DCMS Task force dalam tahun 1998 mendefinisikan Industri Kreatif : “Creatives Industries as those industries which have their origin in individual creativity, skill & talent, and which have a potential for wealth and job creation through the generation and exploitation of intellectual property and content”.

Secara umumnya Indrustri Kreatif adalah berasaskan kepada ketrampilan, kemahiran, bakat dan potensi individu bagi melahirkan suatu ciptaan atau produk yang baru untuk keperluan manusia dan penghasilan itu boleh dijadikan sumber ekonomi atau perniagaan. Oleh yang demikian apapun bidang yang terlibat dalam penciptaan kreatif dan inovatif bagi menghasilkan sesuatu produk untuk perniagaan akan terlibat sebagai INDUSTRI KREATIF. Di sini saya senaraikan bentuk Industri kreatif berdasarkan pinjaman yang diberi dari dana yang diperuntukkan oleh Kerajaan Malaysia melalui bank tempatan, antaranya ialah:

1. Audio Visual & New Media

a. Animasi

b. Interaktif

c. ‘Mobile’

d. Kandungan Internet

e. On-line Publishing/ Multimedia Exhibits

f. Penerbitan Filem

g. Penerbitan TV

h. Muzik

2. Rekaaan

a. Perkaan Produk

b. Fesyen

c. Aksesori

d. Seni Reka/Seni Bina

3. Seni & Kraf

a. Seni Persembahan

b. Galeri Seni/ Muzium

c. Kraftangan

d. Seni Arca

e. Arkib

f. Warisan/ Antikuiti

g. Seni Tradisional

4. Media cetak

a. Penerbitan

b. Penulisan