Wednesday, January 26, 2011

PLAGIARISME DAN POPULARITAS GAYA HIDUP BARU: Aktualisasi Diri atau Lemahnya Budaya Malu?

Sebuah artikal yang menarik saya kongsikan bersama dari blog Indonesia Artis oleh Deni S. jusmani.

PLAGIARISME DAN POPULARITAS GAYA HIDUP BARU: Aktualisasi Diri atau Lemahnya Budaya Malu?
oleh Deni S. Jusmani
Karikatur karya kartunis Polandia, Marcin Bondarowicz yang mengritik tentang praktik plagiarisme. (foto: google)
AKAR permasalahan dari 'pencurian ide' ini sebetulnya sangat erat dengan gaya hidup, yang celakanya telah disepakati bersama. Kenapa? Untuk menjawab ini, saya perlu meminjam pikirannya Baudrillard bahwa ada peran media massa yang dianggap sebagai jantung dari kebudayaan, ada suatu hiperealitas dimana masyarakat dijejali dengan citra dan informasi. Tidak mudah bagi seorang plagiator untuk melakukan plagiarisme tanpa dukungan lingkungan yang kondusif dan ketersediaan informasi mengenai kebutuhan plagiarisme itu sendiri. Artinya, seluruh elemen budaya yang terlibat dalam kebutuhan plagiarisme (seperti: konsumen, produsen, dan media) saling menopang kegiatan ini, sehingga plagiarisme ini akan tetap eksis sampai saat ini.

Kenapa dikatakan sebagai gaya hidup baru, ini mengacu pada terbentuknya stigma berpikir ala konsumerisme yang dimanjakan oleh kapitalisme gaya hidup itu sendiri. Dimana para plagiarisme merasa seakan pola pikir yang semacam ini merupakan kesepakatan sah dan disahkan oleh masyarakat, sehingga bukannya mereka merasa malu atau pun 'berdosa' ketika melakukan plagiat, melainkan bangga karena merasa ikut bagian dari lingkaran kesepakatan tersebut. Baik konsumen, produsen, dan media plagiarisme sama-sama sepakat untuk melakukan kegiatan ini, dan sekali lagi, disepakati oleh masyarakat pendukung gaya hidup ini.

Kenapa plagiarisme menjadi eksis?

Saya bergaya, maka saya ada. Pemahaman ini telah mengakar pada kehidupan masyarakat sosial mulai abad modern ini. Pemahaman ini juga mengakar dan sekaligus merambah pada banyak bidang, termasuk dalam dunia pendidikan. Celakanya juga, sebagian besar landasan pendidikan dan teori pendidikan di Indonesia merupakan barang impor yang sekali lagi dilegalkan. 80% buku yang dipublikasikan di Indonesia merupakan hasil pemikiran, kalau tidak mau dikatakan terjemahan, orang non-pribumi. Hasil impor. Sungguh memprihatinkan. Ini juga menunjukkan kesepakatan antara ketiga elemen budaya tadi. Plagiarisme pendidikan menjadi eksis dan masuk pada ranah gaya hidup, jadi seluruh elemen pendidikan menjadi bergaya. Kalau kata dosen saya, Prof. Gustami, seorang tokoh seni rupa, bahwa tidak kerenrasanya, kurang gagah, jika tidak memasukkan kutipan berbahasa asing dalam karya tulis ilmiah tertentu. Dalam konteks ini, beliau sepakat, jika referensi asing hanya untuk gagah-gagahan saja. Kekesalan ini juga dilontarkan oleh Prof. R.M. Soedarsono, seorang tokoh tari, sekian banyak disertasi yang dikoreksi beliau, sebagian besar atas pemikiran bangsa Barat, padahal, untuk memahami kesenian yang berkembang di Indonesia. Mana bisa? Kedua tokoh ini memandang referensi lokal sering diabaikan, padahal merupakan konstruksi penting dalam merekonstruksi pola pikir pendidikan di Indonesia. Sekali lagi, ranah gaya hidup mewarnai dunia pendidikan Indonesia, sebagai wujud keterpurukan para pakar pendidikan Indonesia, yang dibentuk sebagai kesepakatan untuk kepentingan-kepentingan tertentu.

Jawaban kenapa orang melalukan plagiarisme ini menjadi sangat beragam, manakala ditinjau atas dasar kepentingan. Saya akan membagi menjadi tiga kepentingan, atas dasar tiga elemen budaya, yaitu: kepentingan produsen, kepentingan konsumen, dan kepentingan media. Kepentingan produsen tentu akan mencari dan menjual produknya dengan sistem keteraturan dan hasil yang sebesar-besarnya. Dalam plagiarisme, produsen diposisikan sebagai badan, kelompok, atau komunitas yang melakukan jual jasa pembuat karya tulis, seperti: artikel, skripsi, tesis, bahkan disertasi. Ironisnya, sudah tahu bahwa ini masuk pada pelanggaran wilayah 'orisinilitas ide', tetapi tetap saja muncul iklan, reklame, dan ajakan untuk menggunakan jasa mereka, dan 'diijinkan' oleh lembaga pendidikan. Kepentingan produsen ini tentu saja sejalan dengan setelah adanya kepentingan konsumen, ibarat sebuah pangsa pasar, konsumen akademik memiliki nilai jual beli tinggi. Manakala ketidakmampuan akademik, lemahnya rangsangan berpikir maju, serta bobroknya budaya malu, yang ditunjang juga atas tersedianya sarana dan prasarana, maka kegiatan untuk melakukan plagiarisme semakin menjadi-jadi. Tentu tidak bisa disalahkan adanya kepentingan media, yang digunakan untuk publikasi kepentingan produsen, karena sebagai mediator, peranannya juga sangat dibutuhkan. Kepentingan media bukan serta merta untuk memajukan plagiarisme, tetapi lebih pada nilai ekonomis dan alasan biaya produksi media. Ketiga kepentingan ini mampu merekonstruksi gunung-gunung plagiarisme di Indonesia. Seharusnyalah, ketiga kepentingan ini saling merevisi tujuan dan maksud teroperasionalnya kegiatan plagiarisme. Paling tidak, ada seleksi moral terhadap masing-masing kepentingan. Jika tidak, gaya hidup plagiarisme akan semakin marak didunia pendidikan Indonesia.

Saya kira, hukuman pencopotan guru besar dan pemecatan pada dosen di Universitas Parahyangan, Bandung (Kompas, 10 Februari 2010), atas plagiarisme yang dilakukan, dapat dilihat sebagai proses aktualisasi diri seorang dosen kepada lingkungan pendidikannya, dengan cara-cara yang dipandang sebagai ketidakpercayaan diri atas kemampuan yang dimiliki. Menurut pandangan Rogers dalam Schultz (1991), aktualisasi diri adalah proses menjadi diri sendiri dan mengembangkan sifat-sifat dan potensi potensi psikologis yang unik. Aktualisasi diri akan dibantu atau dihalangi oleh pengalaman dan oleh belajar khususnya dalam masa kanak-kanak. Aktualisasi diri akan berubah sejalan dengan perkembangan hidup seseorang. Ketika mencapai usia tertentu (adolensi) seseorang akan mengalami pergeseran aktualisasi diri dari fisiologis ke psikologis. Aktualisasi diri ini disebabkan untuk memenuhi kebutuhan, diantaranya: kebutuhan fisiologis, kebutuhan rasa aman, kebutuhan cinta, dan kebutuhan untuk mendapat penghargaan. Aktualisasi ini menjadi negatif, saat cara-cara yang dilakukan dan dirasa merugikan pihak lain atau bertentangan dengan norma-norma tertentu, misalnya: pada kasus gugatan yang menimpa JK Rowling, atas dugaan dan tuduhan mencuri gagasan untuk buku-buku Harry Potter, yang digugat oleh pengacara-pengacara almarhum penulis Adrian Jacobs (Kompas, 19 Februari 2010). Kasus ini merupakan aktualisasi yang melibatkan minimal pihak JK Rowling dan para pengacara Adrian Jacobs.

Menurut Maslow, seseorang baru dapat melakukan aktualisasi diri, yaitu keinginan untuk mewujudkan dan mengembangkan potensi diri, apabila seseorang telah merasa bahwa kebutuhan fisiologis (kebutuhan makan dan minum), rasa aman, kebutuhan sosial, dan kebutuhan akan harga diri telah terpenuhi dengan baik. Kebutuhan fisiologis, rasa aman, dan kebutuhan cinta muncul sebagai perkembangan jiwa dan raga seseorang, yang berkembang secara alamiah atau pun dikondisikan dalam kondisi tertentu. Kebutuhan untuk mendapat penghargaan ini juga menjadi kebutuhan individu, yang secara psikologis berkembang pada tatanan kebutuhan untuk berinteraksi dan dihargai dalam konteks pergaulan sosial. Nah, plagiarisme menjadi sarana aktualisasi diri yang boleh dikatakan ‘tepat’ dan ‘murah meriah’, tepat manakala didukung oleh kebutuhan produsen dan konsumen, murah meriah pada saat si plagiator melakukan kegiatan ini, tanpa harus bersusah payah dalam biaya dan waktu untuk menghasilkan rumusan-rumusan populer tentang sesuatu, sehingga stigma yang muncul adalah anggapan hebat dan mumpuni terhadap dirinya. Rentetan kejadian plagiarisme ini bukan hal pertama dilakukan oleh dosen Universitas Parahyangan, dan saya berpendapat bahwa kejadian ini akan tetap berlangsung pada masa-masa mendatang. Kenapa? Karena kebutuhan dan kepentingan elemen budaya dalam plagiarisme masih sangat dominan, aktualisasi diri tersebut tetap akan ada, dan modal ketidakjujuran ini muncul sebagai proses melemahnya budaya malu di budaya Timur ini.

Plagiarisme ini menjadi eksis saat tidak ada lagi koreksi dan seleksi yang tepat serta akurat terhadap hasil karya tulis yang dihasilkan. Contohnya dalam pembuatan karya tulis tugas akhir skripsi, tidak dalam hitungan puluhan skripsi diduplikasi oleh para plagiator, dan ini selalu lolos dalam penilaian tim skripsi. Modusnya, para plagiator akan mencari skripsi dari kampus yang berbeda, bisa juga dengan daerah yang berbeda, tetapi kajian dan bahasan sama. Lebih parah lagi, ditemukan pola pikir yang sama dalam beberapa skripsi dalam satu jurusan di universitas tertentu, plagiarisme ini disahkan oleh penguji skripsi. Ini menunjukkan ketidakmampuan dan ketidakseriusan para penguji, sebagai level kedua, untuk menentukan apakah karya skripsi atau tesis tersebut orisinil atau tidak. Mungkin, wajah buram pendidikan ini akan berakhir pada saat adanya evaluasi diberbagai elemen penggerak pendidikan, yang sudah seharusnya dilakukan untuk perbaikan wajah pendidikan di Indonesia.

Popularitas gaya hidup, atau lemahnya budaya malu?

Budaya malu yang merupakan landasan dan falsafah hidup yang dianut oleh orang Timur, rupanya telah terkikis habis oleh emosional-emosional untuk bergaya. Perasaan malu untuk mempermalukan diri sendiri, malu untuk mempermalukan keluarganya, malu untuk mempermalukan lembaganya, malu untuk mempermalukan negaranya, bahkan malu kepada Tuhannya, telah aus akibat pertemuan pada ranah untuk bergaya tadi. Mungkin, orang sekaliber Idy Subandy Ibrahim, perlu mempertegas batasan-batasan untuk bergaya tersebut hanya untuk bidang busana saja, bukan untuk dunia pendidikan. Salah kaprah yang disepakati ini tidak hanya akan membunuh karakter keilmuan si plagiator itu sendiri, tetapi juga konteks sosialnya. Siswa, mahasiwa, atau pun peserta didik yang terkait juga akan merasa disakiti psikologisnya, beban malu yang disebabkan oleh hukuman sosial kepada seorang plagiator, juga berdampak pada lingkungannya. Hukuman ini tentu memiliki efek ampuh untuk membuat jera segelintir orang yang ketahuan kegiatan plagiarisme saja, dan biasanya baru muncul sinyal-sinyal untuk kewaspadaan terhadap kegiatan ini. Inilah gaya orang Timur. Bagi yang tidak ketahuan, tentu ini tetap menjadi lahan plagiarisme, lahan mata pencaharian, dan ketergantungan akan gaya hidup plagiarisme.

Dalam pandangan John Braithwaite, Crime, Shame, and Reintegration (1989) mengatakan, bahwa rasa malu pada seseorang dapat menghadirkan dua bentuk situasi. Rasa malu yang menimbulkan stigmatisasi atau disebut disintegrative shaming, terjadi dalam kehidupan masyarakat yang menjunjung tinggi peranan hukuman sebagai alat peredam kejahatan. Rasa malu yang menghasilkan reintegrative shaming, terjadi dalam kehidupan masyarakat yang menjunjung tinggi etika dan moral dalam kaitannya dengan pencegahan tindak kejahatan. Dalam buku yang sama, disebutkan pemberian malu (shaming) atau mempermalukan, khususnya bila dilakukan secara sistematis, komprehensif dan tidak final sehingga disebut dengan integrative shaming dapat dilihat sebagai salah satu bentuk penghukuman yang efektif. Berdasarkan pandangan Braithwaite ini, salah satu hukuman terberat bagi para penganut plagiarisme, adalah dengan mempermalukannya dalam konteks-konteks tertentu, sehingga diharapkan dapat memberikan efek jera kepada yang bersangkutan. Hukuman ini sekaligus menjadi alat dan perpanjangan tangan dari ‘tegasnya’ hukum pendidikan yang berlaku di Indonesia, tanpa mengurangi hak-hak si plagiator tersebut.

Kembali pada budaya malu tadi, kita perlu menggarisbawahi, bahwa budaya malu ini telah mengalami keterpurukan pada banyak ranah kehidupan di Indonesia. Penanaman etika dan budi pekerti dari pendidikan dasar hingga tingkat tinggi perlu dicermati kembali pelaksanaannya. Rusaknya budaya malu ini tidak saja membuat orang akan menghalalkan segala cara untuk kepentingannya, juga akan mengambil dan mengakui hak-hak orang lain sebagai miliknya. Pengakuan kesenian asli Indonesia oleh negara lain, menjadi koruptor, melakukan plagiarisme, contoh ini merupakan bentuk rendahnya budaya malu. Budaya malu inilah yang seharusnya menjadi landasan pikir pendidikan utama di Indonesia, sehingga lingkungan sosial, akademik, dan pemerintahan tidak lagi menjadi panggung sandiwara dan tontonan yang memalukan. Apalagi pada ranah pendidikan, lemahnya mental para pendidiknya sebagai wujud lemahnya budaya malu tadi, merupakan awal hancurnya dunia pendidikan di Indonesia. Kalau sudah seperti ini, orang akan berlomba-lomba bergaya hidup dengan landasan lemahnya budaya malu, melakukan hal-hal yang sangat memalukan. Ukuran malu inilah yang perlu dipertegas kembali, untuk membenahi budaya berpikir di Indonesia.

Bagaimana membasmi penyakit plagiarisme?

Pada perspektif gaya hidup, penyakit plagiarisme ini akan menjadi epidemi dan merebak (Kompas, 19 Februari 2010) di jagat pendidikan, sastra, kesenian, dan kebudayaan. Racun sekaligus obat untuk membasmi epidemi plagiarisme ini harus dimulai dari akarnya, sehingga tidak meninggalkan bekas-bekas yang dapat berkembang kembali. Pertanyaannya, apakah kita mau melakukan pembasmian tersebut secara bersama-sama? Maukah ketiga elemen budaya plagiarisme tersebut memutuskan mata rantai kerjasamanya? Apakah kita mau menjadi agen-agen penguji keorisinalitasan publikasi atau karya ilmiah yang dilakukan? Apakah kita mau menghentikan kegiatan plagiarisme yang telah dan biasa kita lakukan? Karena saya melihat plagiarisme ini terbagi atas: plagiarisme semu dan plagiarisme nyata. Plagiarisme nyata, kita tentu sudah tau, bahwa kegiatan ini mirip seperti tingkah laku yang dilakukan seorang pencuri, mengakui hak cipta orang lain atau lembaga tertentu, untuk kepentingan pribadi. Plagiarisme semu ini sedikit lebih sopan, bisa dikatakan sebagai ‘maling budiman’. Pada saat melakukan penjiplakan karya selalu disertakan dengan catatan tambahan karya tersebut milik siapa, kutipan-kutipan yang dilakukan, tentu tidak semuanya diijinkan oleh penulis atau penerbit, tetapi tetap dikutip, walaupun terkadang kita menyertakan sumber rujukan tersebut. Kalau mau ditelusuri, tentu akan banyak sekali maling-maling budiman yang terjaring dalam plagiarisme semu. Ini hanya sedikit beretika dari yang dilakukan oknum dosen di Universitas Parahyangan, jadi tidak perlu kita menghakiminya dengan terus-menerus.

Plagiarisme sebagai bagian gaya hidup, tentu kita akan sulit sekali untuk membasminya, selain ia telah mendarah daging dalam sistem kebudayaan, telah terstrukturisasi dengan mapan dalam pola pikir para pelaku plagiat. Gaya hidup inilah yang menjadi pondasi dan ideologi kelompok-kelompok tertentu, jika ia sudah menjadi tatanan ideologi, perlu usah keras untuk membelokkan pemikiran kelompok tersebut. Meminjam dan menurut ilmu kesehatan, untuk ibarat membersihkan penyakit kronis yang telah mendarah daging tersebut, dapat dilakukan dengan cuci darah. Fungsi dari cuci darah itu untuk pembersihan sampah-sampah secara berkesinambungan dan terjadi keseimbangan bahan-bahan penting seperti elektrolit Kalium, Natrium serta cairan. Dari rujukan ini, kita dapat melihat betapa sulitnya untuk membasmi epidemi plagiarisme dari tatanan kehidupan masyarakat sosial dan budaya, perlu tindakan yang dilakukan secara berkesinambungan. Penyadaran ketiga elemen budaya dalam plagiarisme, evaluasi atas kepentingan produsen, konsumen, dan media, harus dilakukan secara terus-menerus, sehingga dapat menghasilkan tatanan kebudayaan dan sosial yang bersih.

Pada level kehidupan akademik dan pendidikan, kewaspadaan terhadap kasus plagiat ini perlu ditingkatkan, dalam proses skripsi hendaknya masing-masing berperan maksimal. Para pembimbing skripsi dimaksimalkan fungsi kerjanya dengan dijadikan sebagai polisi kejujuran dan tukang kontrol atas tulisan yang disajikan oleh mahasiswanya, demikian dalam fungsi tugas penguji ahli dan tingkat jurusan. Ini akan meminimalkan terjadinya plagiarisme dalam karya tulis. Di level kehidupan sosial, budaya, dan kesenian, kontrol ini dilakukan oleh para pelaku yang berkecimpung dalam bidang tersebut, kontrol dalam bidang ini sebetulnya lebih mudah, daripada ranah akademik dan pendidikan. Karena hampir semua lini kehidupan sosial dan budaya menjadi pengawas dan evaluator terhadap karya-karya diciptakan.

BACAAN:

Schultz, D., Psikologi Pertumbuhan: Model-Model Kepribadian Sehat. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1991.

Ibrahim, Idi Subandy, (Ed). Lifestyle Ecstasy: Kebudayaan Pop dalam Masyarkat Indonesia.Yogyakarta: Jalasutra, 2005.


Ibrahim, Idi Subandy. Budaya Populer sebagai Komunikasi: Dinamika Popscape dan Mediascape di Indonesia Kontemporer. Yogyakarta: Jalasutra, 2007.


Braithwaite, J. Crime, Shame and Reintegration. Cambridge: Cambridge University Press, 1989.

*) Penulis adalah dosen Universitas Negeri Semarang, Mahasiswa S-3 Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.

No comments:

Post a Comment